Tuesday, December 20, 2011

Hentikan Menjual Produk Anda, SEKARANG!!!

Banyak business owners datang kepada saya dengan satu pertanyaan kunci, "Bagaimana caranya untuk tetap menjadi pilihan utama pelanggan di tengah-tengah lautan kompetisi yang makin ketat (dan terkadang dirasa makin tidak sportif)?"

Rupanya banyak pelaku bisnis yang mulai mencemaskan turunnya loyalitas pelanggan, yang pada ujungnya akan mengarah ke salah satu dari dua hal berikut:
A) Anda kehilangan pelanggan karena mereka memutuskan untuk berpaling kepada kompetitor, atau
B) Pelanggan tersebut tetap memilih Anda, namun Anda harus senantiasa overservice dan pada saat yang sama underpaid karena selalu ditekan untuk memberikan harga termurah dan dibanding-bandingkan (bahkan diancam) dengan price list pesaing Anda.

Ya atau ya??

Saya baru saja selesai membaca dan meletakkan majalah Fortune edisi awal Desember 2011 di meja ruang keluarga ketika teringat pertanyaan dan kecemasan para klien saya tersebut. Kebetulan sampul muka dan berita utamanya adalah tentang Howard Schultz, CEO Starbucks, yang terpilih sebagai The 2011 Business Person of The Year oleh majalah tersebut.

Saya tidak akan menceritakan ulang tentang sepak terjang Mr. Schultz dan kedigdayaan Starbucks Coffee Company di artikel kali ini. Toh sudah terlalu banyak tulisan tentang figur mereka yang bisa Anda dapatkan dari berbagai sumber. (Salah satu rekomendasi saya adalah buku berjudul Onward, sebuah memoir yang ditulis langsung oleh Howard Schultz tentang keberhasilan Starbucks lepas dari belenggu krisis bisnis 2008 dan melesat kembali ke puncak hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun).

Namun saya ingin mendiskusikan beberapa business wisdom yang telah berhasil mendongkrak kinerja Starbucks dan menjadikan perusahaan tersebut tetap sebagai pilihan utama pelanggan, meskipun mereka menjual dengan harga premium di tengah-tengah maraknya persaingan kedai kopi yang menjamur belakangan ini.

Howard Schultz, CEO, Starbucks
Salah satu pernyataan yang pernah diungkapkan oleh Howard Schultz adalah "Starbucks bukan menjual kopi." Hmm... isn't that interesting?? Sebuah perusahaan kopi ternama tidak mau mengakui kalau mereka jualan kopi!

Tapi, kalau kita cermati, lebih lanjut, nyata lah bahwa pernyataan sang CEO tersebut benar adanya, dan telah menjadi sebuah culture bagi seluruh karyawan Starbucks (yang dengan bangga mereka sebut sebagai "partner") di seluruh dunia, bahwa Starbucks tidak (hanya) menjual kopi, melainkan:

1. Trust
Menurut Mr. Schultz, inilah single factor yang akhirnya merubah para pembeli mereka menjadi pelanggan fanatik. Ya, para penikmat kopi ini percaya sepenuh hati bahwa Starbucks mencurahkan segenap tenaga dan upaya mereka untuk menyediakan hanya kopi terbaik bagi pelanggannya.
Dan lebih jauh lagi, rasa saling percaya tersebut bukan hanya dibangun dengan para pelanggan, melainkan juga para supplier, termasuk para petani kopi di berbagai negara.
Hal ini akhirnya menjamin roda bisnis Starbucks senantiasa lancar berputar karena mampu mendapatkan pasokan bahan baku kualitas terbaik dengan kuantitas stabil setiap saat.

2. Human-to human relationship
Manajemen tertinggi perusahaan benar-benar berusaha membangun sebuah budaya kerja saling menghargai dan saling mendukung antar karyawan ("partner"). Akibatnya  hubungan antar karyawan menjadi harmonis dan loyalitas menjadi sangat tinggi. Starbucks bahkan dianggap sebagai salah satu dari The Best Company to Work For oleh banyak kalangan.
Bukan hanya itu, suasana yang kondusif di tempat kerja tersebut akhirnya "menular" ke cara para barista  memperlakukan pelanggan. Ya, mereka ingin agar para pembeli tidak merasa sedang bertransaksi bisnis, melainkan sedang "mengunjungi teman" ketika mampir di kedai kopi Starbucks.
Nah, saya juga banyak melihat contoh business owner yang mengadopsi prinsip "berteman dengan pelanggan" ini, namun kurang berhasil. Kenapa? Karena suasana tersebut tidak dibangun dari workplace dan bukan menjadi sebuah culture, melainkan hanya kulit luar belaka.

3. Experience
Kombinasi dari faktor [1] dan [2] di atas yang akhirnya melahirkan The Starbucks Experience yang banyak dikaji oleh para pakar manajemen bisnis dan dijadikan studi kasus di puluhan Business School di berbagai negara.

Fenomena yang terjadi adalah para pembeli datang ke gerai Starbucks bukan untuk minum kopi, melainkan untuk menikmati pengalaman dan suasana yang (menurut mereka) mendamaikan hati.

Howard Schultz mencanangkan bahwa setiap gerai Starbucks harus menjadi "the third place" bagi pelanggan, di mana setiap orang menemukan tempat ketiga setelah rumah dan kantor. Tempat mereka melepaskan himpitan beban dan kepenatan hidup untuk sejenak mendapatkan The Starbucks Experience. (Perhatikan: bukan untuk mendapatkan secangkir kopi, melainkan sebuah pengalaman.) Luar biasa!

Nah, satu hal yang bisa kita pelajari adalah jika bisnis Anda tetap hanya menjual barang atau jasa semata, maka Anda akan berkutat di kubangan yang salah dan  jebakan persaingan harga serta perebutan pelanggan akan tidak terhindarkan. Kondisi ini lah yang di kemudian hari berpotensi untuk "membunuh" bisnis yang sudah Anda rintis dengan susah payah.

Maka, salah satu pertanyaan yang penting untuk Anda temukan jawabnya agar bisnis menjadi tambang emas yang berkelimpahan adalah, "Bagaimana caranya agar  (perusahaan) saya dapat merubah cara pelanggan berpikir, dan menikmati layanan produk/jasa saya bukan hanya sebatas komoditi yang saya jual?"

Enjoy your week, have a great business!

HB.

Wednesday, November 23, 2011

Penting: Bisnis Stagnan & Gagal Berkembang Hanya Karena Sumpit!

Suatu sore saya dan istri memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berkendara mobil untuk sekedar jalan-jalan berkeliling sekitar lokasi tempat tinggal kami. Maksudnya untuk mencari udara segar, sekaligus menjalani quality time sebagai pasangan, dengan ngobrol santai banyak hal sembari jalan-jalan.

Di tengah perjalanan kami melewati sederetan kios penjual makanan, dan memutuskan untuk berhenti di lokasi tersebut dan melihat-lihat apakah ada makanan yang cocok dengan selera. Kami turun dan mulai hunting...nasi uduk..nasi goreng...soto ayam... Dan akhirnya kami putuskan untuk coba makan mie ayam saja.

Kami masuk ke kedai tersebut, duduk dan memesan makanan. Sambil menunggu saya iseng mengamati berbagai sudut aktifitas di warung tersebut, termasuk perilaku si abang penjual mie ketika meracik dan menyiapkan pesanan pelanggannya.

Satu hal yang menarik perhatian, ternyata si penjual mie tersebut tidak bisa "mengoperasikan" sumpit dengan baik! Alih-alih memakai sumpit seperti lazimnya, dia memegang satu batang di tangan kanan, batang yang lain di tangan kiri, dan mulai mengaduk mie dan bumbu di setiap mangkok sebelum disajikan ke pemesannya!

Wah, padahal kan 99.9% penikmat mie (dalam bentuk apa pun) pasti akan menggunakan sumpit untuk menyantap masakan tersebut, kok justru si penjualnya tidak terampil pakai sumpit??? Hmm... saat itu juga saya mulai ragu akan rasa mie ayam yang kami beli ini.

Dan benar dugaan saya, ketika akhirnya pesanan tiba di meja kami, setelah satu dua suapan, saya dan istri saling berpandangan dan saling berbisik, "kurang enak, ya?". Dan saya jawab sambil tertawa (tentu saja pelan-pelan), "ya jelas saja, lihat tuh penjualnya aja kurang bisa pakai sumpit, bagaimana bisa bikin mie yang enak??!!"

Nah, dalam bisnis, ini namanya tidak memiliki Basic Delivery Mastery. Artinya tidak menguasai keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk memberikan layanan yang baik terhadap pelanggan. Jangan dulu bicara untuk memberikan sesuatu yang "beyond expectation" sebelum menguasai hal-hal fundamental ini.

Jika Anda ingin sukses membuka kursus bahasa inggris, pastikan terlebih dahulu si pengajar mampu cas-cis-cus dengan lancar (baik secara logat, tata bahasa, dan kosa kata). Kalau Anda  mau memiliki bengkel mobil yang paling panjang antreannya, seharusnya para montir yang Anda pekerjakan mampu membongkar-pasang mobil dengan cepat. tangkas, rapi dan tepat guna. Demikian juga untuk bidang-bidang usaha yang lain, prinsip yang sama pun berlaku.

Nah, jika dan hanya jika Basic Delivery Mastery dikuasai dengan baik, Anda dapat melakukan upgrade bertahap untuk akhirnya bisa "melampaui ekspektasi pelanggan", "menjadi pemimpin pasar", dan "bebas dari perang harga".

Banyak business owners ingin sukses, tapi berpikir instan. Langsung laris. Langsung kaya. Langsung mendominasi pasar. Tapi tidak memperhatikan hal-hal dasar yang akan menjadi landasan sukses sebuah bisnis. Tentu saja kita harus bermimpi besar dan berambisi yang paling tinggi, tapi perjalanan seribu kilometer dimulai dengan langkah-langkah awal yang benar.

Nah, sudahkah perusahaan Anda menguasai "sumpit"-nya dengan baik dan benar?

Have a great day, and a funtastic business!
HB.

Saturday, November 19, 2011

Apa Hubungan Sukses Bisnis dan Ikan Mas Koki?

Apakah Anda seorang penggemar ikan hias, terutama ikan mas koki? Jika ya, tentu tingkah polah binatang peliharaan yang lucu ini tidak asing lagi bagi Anda. Dan kalau pun Anda bukan penggemar ikan mas koki, paling sedikit pasti pernah meilhat teman atau kerabat yang memelihara sekelompok ikan mas koki di akuariumnya.

Nah, ketika ada salah satu ikan di akuarium tersebut yang mati, respons pertama kita seringkali adalah bertanya, "sudah diberi makan belum tuh ikannya?".

Benar kan?

Kita paling sering menghubungkan matinya ikan hias atau binatang peliharaan lainnya dengan lupa memberi makan, kurang makan, salah makan, pokoknya segala sesuatu yang berhubungan dengan makanan, atau kesalahan yang berkaitan dengannya.

Saya juga penggemar ikan hias dan memiliki sebuah akuarium berisi ikan mas koki. Suatu hari karena harus bepergian ke luar negeri, saya dan keluarga meninggalkan rumah untuk beberapa waktu. Meski pun kami sangat menikmati perjalanan tersebut, beberapa kali kami mengkhawatirkan kondisi ikan hias di rumah yang tidak diberi makan selama hampir 2 minggu. Bahkan kami pun sudah "mempersiapkan mental" ketika pulang nanti mungkin ikan-ikan tersebut sudah mati semua. Maka betapa terkejut (dan gembira) kami, pada waktu kami tiba di rumah, membuka pintu, ternyata sebelas ekor ikan mas koki kami masih utuh tanpa mati satu pun. Hmm.. isnt't that interesting???


Fakta menarik, meskipun memang sebagian kecil matinya ikan hias disebabkan oleh kurang makan, tapi ternyata penyebab terbesarnya adalah buruknya kondisi air akuarium tersebut, yang mengakibatkan ikan tidak bisa bertahan hidup. Bisa jadi karena kondisi asam-basa air, bakteri dan lain sebagainya. Kalau pun tidak menyebabkan kematian, air yang rendah kualitasnya mengakibatkan pertumbuhan ikan jadi terhambat, kerdil, cacat, tidak "keluar" keindahan warnanya, dan lain lain. Rupanya kondisi lingkungan lah yang paling menentukan keberhasilan tumbuh-kembang bahkan kemampuan bertahan hidup sang ikan.

Lalu,pelajaran apa yang bisa kita petik dari si ikan mas koki ini?

Keberhasilan tumbuh-kembang, baik untuk pribadi kita mau pun untuk bisnis kita, tidak bisa tidak sangat ditentukan oleh LINGKUNGAN sekitar kita. Dengan siapa kita bergaul membentuk pola pikir kita. Pola pikir kita menuntun kepada keputusan-keputusan yang kita ambil (dan tidak kita ambil). Keputusan tersebut berakibat langsung kepada tinggi rendahnya hasil yang akhirnya kita raih.

Singkatnya: LINGKUNGAN -- POLA PIKIR -- KEPUTUSAN -- HASIL

Beberapa tahun yang lalu, ketika di akhir tahun saya sedang menyusun target pribadi (dan bisnis) untuk tahun berikutnya, salah satu target saya adalah "mencetak Rp. 1 milyar pertama saya." Dan ketika saya konsultasikan hal ini kepada coach saya, (ya, saya juga memiliki pelatih!) hal pertama yang beliau tanyakan adalah bukan "bagaimana caranya" melainkan "saat ini berapa banyak milyarder yang sudah mengelilingi kamu?" dan "berapa banyak dari orang sukses yang siap bertukar pikiran denganmu setiap saat?". Dan ketika saya jawab "belum ada", maka tanggapan coach saya tersebut adalah: "Go and find ones! It will be nearly impossible to reach your goal if you are not surrounded by the right people. Your environment determines your future!"


Anthony Robbins pernah berujar bahwa, "Saya bisa meramal masa depan Anda sepuluh tahun dari sekarang, cukup dengan berbicara dan menilai tujuh orang yang paling sering bergaul denganmu."

So, have you chosen your friends (and environment) wisely?

Have a great weekend everyone!
HB.

Tuesday, October 18, 2011

Business & Leadership Lesson From Mr. Jusuf Kalla

Bulan lalu saya mendapat kesempatan istimewa untuk bertatap muka dan belajar langsung dari Bapak Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI dan pengusaha sukses kenamaan yang dimiliki negara ini.

Buku catatan yang saya bawa sampai penuh sesak dengan berbagai macam ide dan wisdom bisnis, kepemimpinan, dan kenegaraan yang beliau uraikan secara lugas dan sangat practical dalam waktu sekitar 90 menit tersebut.

Akan tetapi karena keterbatasan ruang penulisan, kali ini saya akan sharing salah satu pelajaran terpenting yang wajib Anda ketahui selaku business owner/business leader.

Sebagai seorang pelatih bisnis (business coach) saya bertemu belasan bahkan puluhan business leaders setiap minggu. Dan rata-rata businesspeople mengeluhkan beberapa hal yang hampir sama. Salah satu keluh kesah para pebisnis adalah ketidakmampuan SDM perusahaannya untuk mengeksekusi business plan dengan baik dan sesuai target.

Salah seorang klien, yang merupakan eksekutif perusahaan terkemuka tanah air, menyatakan, "Semua strategi sih sudah tergambar jelas di kepala saya, coach. Masalahnya...orang-orang saya tuh ga kompeten dan tidak mampu melaksanakannya. Problem saya bukanlah what to do, saya sudah paham betul apa yang harus dilakukan. Letak weak-link nya adalah di who does it... mereka ini payah semua!"

Nah, saya belajar dari pak JK, bahwa anak buah tak pernah salah. Kalau sampai terjadi bottle-neck, maka yang harus "ditembak mati" adalah pemimpinnya.

Nah, untuk menghindari terjadinya hambatan dan kebuntuan terlaksananya strategi dan rencana, seorang pemimpin wajib memiliki dua skill kunci ini:

1. Defining Clear Objectives.
Seorang pemimpin harus mampu memberikan arahan yang jelas, sederhana, dan terukur kepada anak buahnya. Sedemikian jelas dan terukur sehingga tidak mungkin tidak dipahami. Sesuatu yang dimengerti akan mudah dilaksanakan, dan akhirnya meraih hasil yang diinginkan.

Arahan yang ruwet dan tidak terukur hampir pasti berujung kepada tidak terlaksananya perintah tersebut, atau yang lebih parah lagi, terlaksana setengah-setengah dengan banyak kesalahan di sana-sini. Akibatnya, sang pemimpin harus kerja dua kali untuk mengkoreksi kesalahan anak buahnya.

2. Influencing People.
Secara khusus yang dimaksud adalah kemampuan untuk mempengaruhi (bukan memaksa) anak buah Anda untuk melakukan hal yang tidak mereka sukai demi tercapainya tujuan bersama.

Untuk mencapai tujuan harus ada tindakan yang selaras dengan arah tujuan tersebut. Permasalahannya, tidak semua action list tersebut mudah dan nyaman dilaksanakan. Banyak orang akhirnya ragu-ragu bahkan menolak bertindak karena apa yang harus dikerjakan berada di luar comfort zonenya.

Nah disinilah diuji kepiawaian sang pemimpin untuk membuat orang mau melakukan apa yang tidak nyaman demi mencapai hasil yang menguntungkan semua pihak. Bagaimana seseorang dapat mengorbankan ego untuk kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang.

Dan yang terpenting... setelah melakukan 2 hal tersebut seorang pemimpin harus berani untuk tidak ikut campur dalam pekerjaan anak buahnya, namun juga berani bertanggung jawab akan kesalahan anak buahnya seandainya terjadi sesuatu yang salah dan merugikan.

Saya yakin ilmu kepemimpinan ala Jusuf Kalla ini bermanfaat untuk Anda. Selamat berlatih dan mempraktekkannya!

Salam FUNtastic!
HB.

The 4C's of Leadership

Leadership is like diamond in many ways. 
It's priceless. It's hard to find. It takes great effort to shape it. 
And most of all, a great leader make the whole organization shines, 
just like what a diamond does to the whole package of jewelry.
~ Han "Tiger" Budiyono ~



Kepemimpinan.

Ini adalah satu kata yang menjadi tema sentral berhasil (atau gagalnya) organisasi apa pun, termasuk bisnis Anda.

Lupakan dulu tentang teknologi produk. Itu bisa dibeli. Jangan dulu bicara tentang kecanggihan ilmu pemasaran dan kecantikan kemasan. Hal tersebut mudah ditiru. Apalagi jika hanya mengandalkan harga murah dan hubungan semu dengan pelanggan, jangan harap bisnis Anda bisa tetap eksis untuk waktu yang lama.

Bentuklah kepemimpinan dalam bisnis Anda, maka Anda membangun a profitable and sustainable business.

Ada satu orang bijak yang pernah mengajar saya bahwa membentuk pemimpin adalah tanggung jawab seorang pemimpin. Creating leaders is the job-description of a leader. Karena kecuali sang pemimpin menyiapkan regenerasi, pertumbuhan perusahaan akan berhenti di tangannya, dan bisnis hanya akan mampu melaju sejauh isi kepalanya saja.

Nah, bagi Anda penggemar diamond, Anda pasti hafal betul dengan istilah-istilah Cut, Color, Carat dan Clarity, atau lazim disingkat sebagai 4C. Ya, 4C adalah patokan alias parameter pengukuran sebutir berlian, untuk menentukan, apakah berlian tersebut bernilai $ 100 atau $ 100,000,000.

Rupanya, 4C adalah satu lagi kesamaan antara diamond dengan leadership. Kualitas kepemimpinan pun dapat diukur menggunakan 4C, yang terdiri dari Competency, Care, Commitment, dan Consistency.

1. Competency
Ini adalah ukuran pertama dan mendasar seorang pemimpin. Bukan berarti sang pemimpin harus memiliki kemampuan super dan mampu menyelesaikan semuanya seorang diri (dan pemimpin tipe ini justru akan menjadi kontra-produktif), namun dia wajib memiliki kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk getting things done. Tanpa kompetensi yang cukup, seorang pemimpin akan sulit meraih respect dari anak buahnya. You need to lead by example and walk your talk. Otherwise people will only obey you because of your position, not because they're inspired.

2. Care (for People)
A great leader loves to work with people. Period.
Syarat mutlak seorang pemimpin sejati adalah kecintaan bekerja dengan manusia dan ambisi yang senantiasa menyala untuk membangun sosok yang dipimpinnya menjadi pribadi yang lebih berkualitas. Pemimpin yang hanya mampu mengelola benda mati (angka, mesin, dsb) bukan lah buruk, tapi dia tidak akan bertransformasi menjadi great leader, melainkan hanya akan menjadi sebatas great manager.

3. Commitment
Ini lah faktor yang membedakan berlian dengan batu plastik bersinar. Satu orang dengan commitment lebih berharga dari seribu orang dengan interest. Sangat mudah untuk menyatakan ingin maju, ingin sukses, ingin kaya. Tapi hanya satu perseribu yang benar-benar mau membayar harga untuk maju, sukses, dan kaya. Itulah mengapa banyak orang bermimpi dan hanya segelintir yang mampu mewujudkan impiannya.
Saya mendefinisikan "commitment" sebagai sebuah sikap mental yang mau memberikan 100% (bukan 99% atau kurang) sampai meraih sukses (bukan sampai "lelah", bukan sampai "bosan", tapi sampai berhasil).

4. Consistency
C yang terakhir ini adalah penentu apakah sang leader mampu membawa organisasi yang dipimpinnya melewati berbagai jenis tantangan jaman. Orang payah akan lesu setiap saat. Orang biasa (menengah) sempat semangat berkobar-kobar tapi mudah padam dalam waktu singkat. Pemimpin sejati mampu mempertahankan optimisme dan sikap positifnya setiap saat di berbagai kondisi yang ada. Kepemimpinan bisa digambarkan sebagai lomba marathon. Hanya mereka yang memiliki durability yang akan menyelesaikan keseluruhan 42 km. Dan banyak pelari "amatiran" yang segera melesat di depan di awal-awal lomba, namun kelenger dan mundur tak lama setelah lomba berlangsung.

So, bagaimana skor kepemimpinan diri Anda?
Sudahkah Anda membentuk bisnis Anda sebagai ladang kepemimpinan?
Berapa banyak tenaga dan waktu yang sudah Anda curahkan untuk pengembangan kualitas SDM di perusahaan Anda?

Jawaban Anda akan tiga pertanyaan di atas akan significantly menenentukan masa depan perusahaan Anda.

Have a great business!
HB.

Monday, October 17, 2011

What Really Drives Your Product Value and Sell-Ability?

4 Oktober 2011 - CEO Apple, Tim Cook, memimpin peluncuran IPhone 4S di headquarter perusahaan di Cupertino.

Penampilan perdana produk terbaru Apple Inc. tersebut menuai banyak kekecewaan khalayak karena dua sebab: pertama, gaya presentasi Tim Cook yang membosankan jauh di bawah kharisma pendahulunya, Steve Jobs. Dan kedua, dan ini alasan yang lebih dominan- karena penggemar benar-benar tengah menantikan IPhone disain terbaru yang lebih tipis dengan layar lebih lebar, yang rumornya akan diberi nama IPhone 5. Dan ketika yang muncul "hanya" IPhone 4S, tentu rasa kecewa menghinggapi para pelanggan yang telah menunggu berbulan-bulan.

Para pengamat segera melabel peluncuran tersebut sebagai sebuah flop. Beberapa memprediksi bahwa era keunggulan (winning-edge) Apple telah berakhir, dan para pesaing yang berbasis Android akan segera mengambil alih market-share Apple tahun ini juga.

5 Oktober 2011 - Satu hari setelah launching yang mengecewakan tersebut, tersiar kabar bahwa Steve Jobs, sang mastermind di balik lahirnya IPod, IPhone dan IPad berpulang karena pemyakit kanker yang telah lama menyerangnya. Serta merta penjualan IPhone 4S (yang hanya satu hari sebelumnya diprediksi menuju ke jurang) bak melesat ke langit ke tujuh. Dalam 24 jam pertama angka penjualan menembus 1,000,000 unit. Antrean pembeli dilaporkan menumpuk di tujuh negara di mana IPhone 4S diluncurkan, dan daftar-pesan di negara-negara lain membludak luar biasa. Bahkan para pembeli rela menebus IPhone seri terbaru itu sampai 7 kali lipat harga aslinya melalui para calo.

Steve Wozniak, atau akrab dipanggil Woz,  co-founder Apple Inc. turut meramaikan berita dengan ikut heboh mengantre di salah satu Apple Store di Los Gatos, California. Woz bahkan rela datang semalam sebelumnya dan menginap di depan pintu toko demi mendapatkan nomor urut pertama.

Bagaimana kita menjelaskan peristiwa ini?

Sederhana. Mulai tanggal 5 Oktober 2011 dan seterusnya para pelanggan bukanlah membeli sebatang gadget canggih semata, melainkan kombinasi dari memori, sentimen, kekaguman, fanatisme dan rasa duka akan berpulangnya Steve Jobs, yang bercampur jadi satu menjadi added-value yang luar biasa. Para penggemar bahkan memberi nickname baru untuk IPhone 4S, yakni "IPhone For Steve".

Isn't that interesting???

PERTANYAAN UNTUK DIRENUNGKAN OLEH PARA PEBISNIS...
Tahukah Anda, bahwa keputusan manusia hanya 20% dipengaruhi logika dan 80% sisanya adalah faktor emosi? 

Sadarkah Anda, bahwa para pelanggan Anda pun menimbang dan memutuskan menggunakan komposisi yang sama? 

Dan sudahkah Anda mengemas produk atau layanan Anda dengan balutan emotional benefit yang cukup untuk mendongkrak nilai jual (dan harga jual)nya?

Apakah Anda meluangkan cukup waktu untuk memahami pelanggan Anda untuk menemukan apa yang benar-benar menjadi keinginan terdalam mereka?

Dan benarkah Anda telah mencurahkan segala energi, daya dan upaya untuk menghasilkan produk dan layanan yang mampu menjawab tuntas harapan pelanggan Anda tersebut?

Have a great business, and keep it profitable!

Regards,
HB.

Sunday, October 2, 2011

The Jackie Chan Lesson for Entrepreneurs

Saya mengisi waktu santai minggu sore kali ini dengan membuka-buka foto-foto travelling saya bersama istri. Memang jalan-jalan adalah salah satu hobby kami yang paling menyenangkan. Akhirnya perhatian saya jatuh ke sebuah gambar dimana kami sedang mengunjungi Victoria Peak di Hong Kong. Tampak di kejauhan adalah rumah kediaman bintang film kenamaan Hong Kong dan Hollywood, Jackie Chan.

Jackie Chan, yang di tahun 2011 ini berusia 57 tahun, memulai karirnya pada tahun 1976 atas prakarsa seorang  produser bermana Willie Chan. Sang produser yang sangat terkesan dengan kepiawaian bela dirinya itu memproyeksikannya sebagai "pengganti" Bruce Lee melalui film "New Fist of Fury".

Gayung bersambut, kebetulan Jackie Chan sendiri adalah big fan Bruce Lee. Maka dia pun berlatih lebih keras sambil mati-matian mempelajari gaya sang idola, dan berusaha menjadi semirip mungkin agar sukses mendapat predikat "The New Bruce Lee".

Meskipun debutnya tidak bisa dibilang gagal, tapi breakthrough sesungguhnya dari karir Jackie Chan adalah ketika dia bermain di film "Snake in the Eagle's Shadow". Dalam film tersebut Jackie berimprovisasi, memadukan unsur komedi dan beladiri. Dan kita sama-sama tahu bahwa "kung-fu jenaka" itulah yang akhirnya menjadi trade-mark Jackie Chan hingga hari ini dan berhasil membawanya menjadi multi-bilyuner serta meraih begitu banyak penghargaan. Jackie Chan bahkan menjadi artis Asia pertama yang mendapat kehormatan untuk dipatri namanya di Hollywood Walk of Fame.

Dalam dunia bisnis, bukankah situasi ini sering terjadi?

Sama seperti Jackie Chan akhirnya meraih sukses sejatinya dengan berani menjadi diri sendiri, sebuah perusahaan hanya bisa breakthrough ketika dia memutuskan untuk tidak lagi menjadi pengekor dari perusahaan lain yang sukses dan mulai menentukan keunikan dan kekuatannya sendiri.

Persoalannya, mayoritas pemilik bisnis memiliki mentalitas peniru. Banyak orang terlalu malas untuk berpikir dan memutuskan untuk mengambil jalan singkat, yakni membajak ide, membajak pelanggan, atau  membajak karyawan perusahaan lain. Istilah "inovasi" seringkali diterjemahkan sebagai menjiplak apa yang sedang trend di pasar dan mengakuinya sebagai ide kreatif ciptaan sendiri. Hmm.. isn't that ineteresting..?

Ada orang bertanya, kalau memang mendompleng saja sudah bisa hidup, ngapain repot-repot berinovasi?

Ada sedikitnya 3 faktor yang menghambat perusahaan-perusahaan imitator tersebut untuk meraih real breakthrough dan sustainable success, yakni:

1. Brand-Recognition yang lemah.
Berdasarkan survey, ditemukan fakta bahwa orang menghargai sang nomor satu rata-rata 6-8 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan si nomor dua, dan 16 kali jika dijajarkan dengan si nomor tiga. Artinya, berada sebagai top of mind pelanggan adalah sebuah leverage besar yang merupakan keuntungan yang luar biasa bagi bisnis Anda. Meraih posisi nomor 2 hanya menghasilkan "efek suka" 1/6 atau 1/8 dibandingkan menjadi juara.

2. Tidak mampu meraih profit yang sehat bagi tumbuhnya perusahaan.
Mengapa perusahaan imitator sukar tumbuh? Sebagai "pengekor" Anda selalu dituntut untuk memberikan layanan lebih dibanding sang nomor satu, namun harus menjual dengan harga (jauh) lebih murah. Akibatnya sudah pasti profit margin Anda tergerus dibanding pemimpin pasar. Dengan laba yang lebih tipis, sulit untuk mengalokasikan cukup dana bagi pengembangan bisnis. (Note: perusahaan-perusahaan terbaik di dunia selalu mengalokasikan dana yang tidak kecil untuk research & development, people education, dsb.)

3. Mudah terjebak dalam comfort-zone semu.
Secara alamiah pandangan sang pengekor akan selalu tertuju kepada yang dibuntutinya. Coba pikirkan, jika Anda berlari dalam sekelompok manusia dan Anda tidak berada dalam posisi memimpin kerumunan tersebut, maka satu-satunya "pemandangan" Anda hanyalah punggung pelari di depan Anda. 
Situasi ini sering menyebabkan sang pengekor "lupa" berinovasi dan mudah merasa takut kehilangan apa yang telah diraihnya, yang pada akhirnya membuat dia terjebak dalam zona nyaman. Sayangnya zona kenyamanan tersebut seringkali bersifat semu, dan perlahan-lahan akan membawa perusahaan ke jurang kejatuhan.

WHAT TO DO NOW?
HOW CAN A BUSINESS COACH HELP?

Nah, bagi Anda yang memang bercita-cita membangun bisnis yang berkualitas, saya punya hadiah istimewa. Di bawah ini tertera beberapa coaching questions yang saya sering ajukan kepada para business owners. Jika Anda mampu menjawabnya dengan full-clarity, niscaya keberhasilan akan menjadi milik Anda.

1. Apa yang menjadi kekuatan-utama Anda?
2. Apa yang menjadi kekuatan-pendukung Anda?
3. Siapa sebenarnya basis pelanggan setia Anda? Rumuskan dengan sangat detail.
4. Apa frustrasi mereka yang sebenarnya, yang apabila Anda "tutup" akan membuat mereka sangat puas?
5. Bagaimana menyediakan produk/layanan untuk memenuhi pertanyaan no. 4 diatas?
6. Apa yang harus Anda benahi dalam 3 bulan, 1 tahun, dan 5 tahun agar bisa mewujudkannya?

Have fun and build yourself a world-class business!

Best Regards,
HB.