Sunday, October 2, 2011

The Jackie Chan Lesson for Entrepreneurs

Saya mengisi waktu santai minggu sore kali ini dengan membuka-buka foto-foto travelling saya bersama istri. Memang jalan-jalan adalah salah satu hobby kami yang paling menyenangkan. Akhirnya perhatian saya jatuh ke sebuah gambar dimana kami sedang mengunjungi Victoria Peak di Hong Kong. Tampak di kejauhan adalah rumah kediaman bintang film kenamaan Hong Kong dan Hollywood, Jackie Chan.

Jackie Chan, yang di tahun 2011 ini berusia 57 tahun, memulai karirnya pada tahun 1976 atas prakarsa seorang  produser bermana Willie Chan. Sang produser yang sangat terkesan dengan kepiawaian bela dirinya itu memproyeksikannya sebagai "pengganti" Bruce Lee melalui film "New Fist of Fury".

Gayung bersambut, kebetulan Jackie Chan sendiri adalah big fan Bruce Lee. Maka dia pun berlatih lebih keras sambil mati-matian mempelajari gaya sang idola, dan berusaha menjadi semirip mungkin agar sukses mendapat predikat "The New Bruce Lee".

Meskipun debutnya tidak bisa dibilang gagal, tapi breakthrough sesungguhnya dari karir Jackie Chan adalah ketika dia bermain di film "Snake in the Eagle's Shadow". Dalam film tersebut Jackie berimprovisasi, memadukan unsur komedi dan beladiri. Dan kita sama-sama tahu bahwa "kung-fu jenaka" itulah yang akhirnya menjadi trade-mark Jackie Chan hingga hari ini dan berhasil membawanya menjadi multi-bilyuner serta meraih begitu banyak penghargaan. Jackie Chan bahkan menjadi artis Asia pertama yang mendapat kehormatan untuk dipatri namanya di Hollywood Walk of Fame.

Dalam dunia bisnis, bukankah situasi ini sering terjadi?

Sama seperti Jackie Chan akhirnya meraih sukses sejatinya dengan berani menjadi diri sendiri, sebuah perusahaan hanya bisa breakthrough ketika dia memutuskan untuk tidak lagi menjadi pengekor dari perusahaan lain yang sukses dan mulai menentukan keunikan dan kekuatannya sendiri.

Persoalannya, mayoritas pemilik bisnis memiliki mentalitas peniru. Banyak orang terlalu malas untuk berpikir dan memutuskan untuk mengambil jalan singkat, yakni membajak ide, membajak pelanggan, atau  membajak karyawan perusahaan lain. Istilah "inovasi" seringkali diterjemahkan sebagai menjiplak apa yang sedang trend di pasar dan mengakuinya sebagai ide kreatif ciptaan sendiri. Hmm.. isn't that ineteresting..?

Ada orang bertanya, kalau memang mendompleng saja sudah bisa hidup, ngapain repot-repot berinovasi?

Ada sedikitnya 3 faktor yang menghambat perusahaan-perusahaan imitator tersebut untuk meraih real breakthrough dan sustainable success, yakni:

1. Brand-Recognition yang lemah.
Berdasarkan survey, ditemukan fakta bahwa orang menghargai sang nomor satu rata-rata 6-8 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan si nomor dua, dan 16 kali jika dijajarkan dengan si nomor tiga. Artinya, berada sebagai top of mind pelanggan adalah sebuah leverage besar yang merupakan keuntungan yang luar biasa bagi bisnis Anda. Meraih posisi nomor 2 hanya menghasilkan "efek suka" 1/6 atau 1/8 dibandingkan menjadi juara.

2. Tidak mampu meraih profit yang sehat bagi tumbuhnya perusahaan.
Mengapa perusahaan imitator sukar tumbuh? Sebagai "pengekor" Anda selalu dituntut untuk memberikan layanan lebih dibanding sang nomor satu, namun harus menjual dengan harga (jauh) lebih murah. Akibatnya sudah pasti profit margin Anda tergerus dibanding pemimpin pasar. Dengan laba yang lebih tipis, sulit untuk mengalokasikan cukup dana bagi pengembangan bisnis. (Note: perusahaan-perusahaan terbaik di dunia selalu mengalokasikan dana yang tidak kecil untuk research & development, people education, dsb.)

3. Mudah terjebak dalam comfort-zone semu.
Secara alamiah pandangan sang pengekor akan selalu tertuju kepada yang dibuntutinya. Coba pikirkan, jika Anda berlari dalam sekelompok manusia dan Anda tidak berada dalam posisi memimpin kerumunan tersebut, maka satu-satunya "pemandangan" Anda hanyalah punggung pelari di depan Anda. 
Situasi ini sering menyebabkan sang pengekor "lupa" berinovasi dan mudah merasa takut kehilangan apa yang telah diraihnya, yang pada akhirnya membuat dia terjebak dalam zona nyaman. Sayangnya zona kenyamanan tersebut seringkali bersifat semu, dan perlahan-lahan akan membawa perusahaan ke jurang kejatuhan.

WHAT TO DO NOW?
HOW CAN A BUSINESS COACH HELP?

Nah, bagi Anda yang memang bercita-cita membangun bisnis yang berkualitas, saya punya hadiah istimewa. Di bawah ini tertera beberapa coaching questions yang saya sering ajukan kepada para business owners. Jika Anda mampu menjawabnya dengan full-clarity, niscaya keberhasilan akan menjadi milik Anda.

1. Apa yang menjadi kekuatan-utama Anda?
2. Apa yang menjadi kekuatan-pendukung Anda?
3. Siapa sebenarnya basis pelanggan setia Anda? Rumuskan dengan sangat detail.
4. Apa frustrasi mereka yang sebenarnya, yang apabila Anda "tutup" akan membuat mereka sangat puas?
5. Bagaimana menyediakan produk/layanan untuk memenuhi pertanyaan no. 4 diatas?
6. Apa yang harus Anda benahi dalam 3 bulan, 1 tahun, dan 5 tahun agar bisa mewujudkannya?

Have fun and build yourself a world-class business!

Best Regards,
HB.

No comments:

Post a Comment