Rupanya banyak pelaku bisnis yang mulai mencemaskan turunnya loyalitas pelanggan, yang pada ujungnya akan mengarah ke salah satu dari dua hal berikut:
A) Anda kehilangan pelanggan karena mereka memutuskan untuk berpaling kepada kompetitor, atau
B) Pelanggan tersebut tetap memilih Anda, namun Anda harus senantiasa overservice dan pada saat yang sama underpaid karena selalu ditekan untuk memberikan harga termurah dan dibanding-bandingkan (bahkan diancam) dengan price list pesaing Anda.
Ya atau ya??
Saya baru saja selesai membaca dan meletakkan majalah Fortune edisi awal Desember 2011 di meja ruang keluarga ketika teringat pertanyaan dan kecemasan para klien saya tersebut. Kebetulan sampul muka dan berita utamanya adalah tentang Howard Schultz, CEO Starbucks, yang terpilih sebagai The 2011 Business Person of The Year oleh majalah tersebut.
Saya tidak akan menceritakan ulang tentang sepak terjang Mr. Schultz dan kedigdayaan Starbucks Coffee Company di artikel kali ini. Toh sudah terlalu banyak tulisan tentang figur mereka yang bisa Anda dapatkan dari berbagai sumber. (Salah satu rekomendasi saya adalah buku berjudul Onward, sebuah memoir yang ditulis langsung oleh Howard Schultz tentang keberhasilan Starbucks lepas dari belenggu krisis bisnis 2008 dan melesat kembali ke puncak hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun).
Namun saya ingin mendiskusikan beberapa business wisdom yang telah berhasil mendongkrak kinerja Starbucks dan menjadikan perusahaan tersebut tetap sebagai pilihan utama pelanggan, meskipun mereka menjual dengan harga premium di tengah-tengah maraknya persaingan kedai kopi yang menjamur belakangan ini.
Howard Schultz, CEO, Starbucks |
Tapi, kalau kita cermati, lebih lanjut, nyata lah bahwa pernyataan sang CEO tersebut benar adanya, dan telah menjadi sebuah culture bagi seluruh karyawan Starbucks (yang dengan bangga mereka sebut sebagai "partner") di seluruh dunia, bahwa Starbucks tidak (hanya) menjual kopi, melainkan:
1. Trust
Menurut Mr. Schultz, inilah single factor yang akhirnya merubah para pembeli mereka menjadi pelanggan fanatik. Ya, para penikmat kopi ini percaya sepenuh hati bahwa Starbucks mencurahkan segenap tenaga dan upaya mereka untuk menyediakan hanya kopi terbaik bagi pelanggannya.
Dan lebih jauh lagi, rasa saling percaya tersebut bukan hanya dibangun dengan para pelanggan, melainkan juga para supplier, termasuk para petani kopi di berbagai negara.
Hal ini akhirnya menjamin roda bisnis Starbucks senantiasa lancar berputar karena mampu mendapatkan pasokan bahan baku kualitas terbaik dengan kuantitas stabil setiap saat.
2. Human-to human relationship
Manajemen tertinggi perusahaan benar-benar berusaha membangun sebuah budaya kerja saling menghargai dan saling mendukung antar karyawan ("partner"). Akibatnya hubungan antar karyawan menjadi harmonis dan loyalitas menjadi sangat tinggi. Starbucks bahkan dianggap sebagai salah satu dari The Best Company to Work For oleh banyak kalangan.
Bukan hanya itu, suasana yang kondusif di tempat kerja tersebut akhirnya "menular" ke cara para barista memperlakukan pelanggan. Ya, mereka ingin agar para pembeli tidak merasa sedang bertransaksi bisnis, melainkan sedang "mengunjungi teman" ketika mampir di kedai kopi Starbucks.
Nah, saya juga banyak melihat contoh business owner yang mengadopsi prinsip "berteman dengan pelanggan" ini, namun kurang berhasil. Kenapa? Karena suasana tersebut tidak dibangun dari workplace dan bukan menjadi sebuah culture, melainkan hanya kulit luar belaka.
3. Experience
Kombinasi dari faktor [1] dan [2] di atas yang akhirnya melahirkan The Starbucks Experience yang banyak dikaji oleh para pakar manajemen bisnis dan dijadikan studi kasus di puluhan Business School di berbagai negara.
Fenomena yang terjadi adalah para pembeli datang ke gerai Starbucks bukan untuk minum kopi, melainkan untuk menikmati pengalaman dan suasana yang (menurut mereka) mendamaikan hati.
Howard Schultz mencanangkan bahwa setiap gerai Starbucks harus menjadi "the third place" bagi pelanggan, di mana setiap orang menemukan tempat ketiga setelah rumah dan kantor. Tempat mereka melepaskan himpitan beban dan kepenatan hidup untuk sejenak mendapatkan The Starbucks Experience. (Perhatikan: bukan untuk mendapatkan secangkir kopi, melainkan sebuah pengalaman.) Luar biasa!
Nah, satu hal yang bisa kita pelajari adalah jika bisnis Anda tetap hanya menjual barang atau jasa semata, maka Anda akan berkutat di kubangan yang salah dan jebakan persaingan harga serta perebutan pelanggan akan tidak terhindarkan. Kondisi ini lah yang di kemudian hari berpotensi untuk "membunuh" bisnis yang sudah Anda rintis dengan susah payah.
Maka, salah satu pertanyaan yang penting untuk Anda temukan jawabnya agar bisnis menjadi tambang emas yang berkelimpahan adalah, "Bagaimana caranya agar (perusahaan) saya dapat merubah cara pelanggan berpikir, dan menikmati layanan produk/jasa saya bukan hanya sebatas komoditi yang saya jual?"
Enjoy your week, have a great business!
HB.